Tuesday, July 13, 2010

Fakta Seputar Ali dan Fatimah

Eropa punya Romeo and Juliet...China punya Sampek Eng Tay...Timur Tengah ada Laila Majnun..India ada Rama dan Shinta ( ato Rahul and Anjali yaaa?? ) Indonesia gak mau kalah dengan Galih dan Ratna ( bingung cari kisah cinta Indonesia...nominasinya tadi ada Fitri dan Farel di Cinta Fitrii.......hehehe

Semua itu adalah Kisah Cinta terdahsyat yang pernah ada di muka bumi iniii * lebayy *....siapa yang lupa sama pengorbanan mereka dalam meraih cintanya..semua diatas adalah inspirasi muda-mudi dalam menjalin kisah romantis.. * dan modal para playboy buat menggaet wanita...huekkkks *

Tapi semuanya fiksiii...... dan gw teringat akan buku2 yang dulu pernah gw baca ( buku Fatimah az-zahra dan Salim A Fillah yang nikmatnya pacaran setelah menikah )..dan ada satu kisah NON FIKSI yang sangat menginspirasikan diri gw pribadi..
The Greatest Love Story ever....about Ali bin Abi Thalib and Fatimah sang Putri Rasul...

Siapa yang gak kenal dengan Fatimah ..sang Putri Rasul..walaupun gak pernah dijabarkan seperti apa rupanya..tapi jaminan mutuu pasti cantikk banget, Fatimah itu Puteri Rasululullh SAW yang notabene masih keturunan bangsawan..yah kita lihatlah ya keturunan bangsawan keraton aja bening-bening..gimana keturunan bangsawan arabb.?? untuk selingan aja dulu ya...Rasulullah itu tampannnnnnnnnnnn bangetttt.... pernah ada kisah seseorang menarik pakaian Rasul sehingga terlihat punggungnya yang putihh , trus sodara gw pernah cerita ( niy tau bener tau kagak ya..tapi gw dapet dari orang Jamaah Tabligh yang arab langsung )..

Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun (bisa dikatakan CIDAHA). Fathimah...Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.

Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada
Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!

‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.

Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih
utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan membelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’ Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.

Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.

’ Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku. ”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.

’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’ Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”

Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-
sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi
wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-
bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.

’ Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.
Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak.
Lamaran ’Umar juga ditolak.

Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang
telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.

Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa ’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu?

Atau Sa ’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yanglincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”,
kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ”
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.

”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya.
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata
itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.

Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-
duanya berarti ya !”

Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan- kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.

’ Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan
bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali,
“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda ”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah
pemuda itu ”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”

~yang salah dari pacaran itu bukan perasaannya, melainkan jalan yang kita pilih, untuk mempertanggungjawabkan perasaan tsb lah, yang tidak bijak...~ semoga istiqomah, ini memang tidak mudah.

Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikan sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah ( dalam nilai perak), dan Ali bin ridha (menerima) mahar tersebut.”

Kemudian Rasulullah saw mendoakan keduanya:

“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab 4).
Riwayat hadis ini bersumber dari Anas bin Malik, salah seorang sahabat Nabi saw.


10 NASEHAT NABI KEPADA PUTRINYA

Suatu hari Rasulullah saw menjenguk Fathimah Az-Zahra. Ketika itu ia sedang membuat tepung dengan alat penggiling sambil menangis.

"Kenapa menangis, Fathimah?" tanya Rasulullah,"mudah-mudahan Allah tidak membuat matamu menangis lagi."

"Ayah," Fathimah menjawab, "aku menangis karena batu penggiling ini, dan lagi aku hanya menangisi kesibukanku yang silih berganti."

Rasulullah saw kemudian mengambil tempat duduk di sisinya, kata Abu Hurairah. Fathimah berkata, "Ayah, demi kemuliaanmu, mintakan kepada `Ali supaya membelikan seorang budak untuk membantu pekerjaan-pekerjaanku membuat tepung dan menyelesaikan pekerjaan rumah."

Setelah mendengar perkataan putrinya, Rasulullah bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju tempat penggilingan. Beliau memungut segenggam biji-bijian gandum dimasukkan ke penggilingan. Dengan membaca "Bismillaahirrahmaanirrahiim" maka berputarlah alat penggiling itu atas izin Allah. Beliau terus memasukkan biji-bijian itu sementara alat penggiling terus berputar sendiri, sambil memuji
Allah dengan bahasa yang tidak dipahami manusia. dan ini terus berjalan sampai biji-bijian itu habis.

Rasulullah saw berkata kepada alat penggiling itu, "Berhentilah atas izin Allah." Seketika alat penggiling itu pun berhenti. Beliau berkata sambil mengutip ayat Al-Quran,

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya, dan mereka selalu mengerjakan segala yang diperintahkan." (QS. At- Tahrim : 6)

Merasa takut jika menjadi batu yang kelak masuk neraka, tiba-tiba batu itu bisa berbicara atas izin Allah. Ia berbicara dengan bahasa Arab yang fasih. Selanjutnya batu itu berkata, "Ya Rasulullah, demi Dzat Yang Mengutusmu dengan hak menjadi Nabi dan Rasul, seandainya engkau perintahkan aku untuk menggiling biji-bijian yang ada di seluruh jagat Timur dan Barat, pastilah akan kugiling semuanya."

Dan aku mendengar pula, kata Abu Hurairah yang meriwayatkan kisah ini, bahwa Nabi saw bersabda,

"Hai Batu, bergembiralah kamu. Sesungguhnya kamu termasuk batu yang kelak dipergunakan untuk membangun gedung Fathimah di surga." Seketika itu batu penggiling bergembira dan berhenti.

Nabi saw bersabda kepada putrinya, Fathimah Az-Zahra,
"Kalau Allah berkehendak, hai Fathimah, pasti batu penggiling itu akan berputar sendiri untukmu. Tetapi Allah berkehendak mencatat kebaikan-kebaikan untuk dirimu dan menghapus keburukan-keburukanmu serta mengangkat derajatmu.

"Hai Fathimah, setiap istri yang membuatkan tepung untuk suami dan anak-anaknya, maka Allah mencatat baginya memperolah kebajikan dari setiap bulir biji yang tergiling, dan menghapus keburukannya serta meninggikan derajatnya."

"Hai Fathimah, setiap istri yang berkeringat di sisi alat penggilingnya karena membuatkan bahan makanan untuk suaminya, maka Allah memisahkan antara dirinya dan neraka sejauh tujuh hasta."

"Hai Fathimah, setiap istri yang meminyaki rambut anak-anaknya dan menyisirkan rambut mereka dan mencucikan baju mereka, maka Allah mencatatkan untuknya memperoleh pahala seperti pahala orang yang memberi makan seribu orang yang sedang kelaparan, dan seperti pahala orang yang memberi pakaian seribu orang yang telanjang."

"Hai Fathimah, setiap istri yang mencegah kebutuhan tetangganya, maka Allah kelak akan mencegahnya (tidak memberi kesempatan baginya) untuk minum air dari telaga Kautsar pada hari kiamat."

"Hai Fathimah, tetapi yang lebih utama dari semua itu adalah keridhaan suami terhadap istrinya.
Sekiranya suamimu tidak meridhaimu, tentu aku tidak akan mendoakan dirimu."
"Bukankah engkau mengerti, Hai Fathimah, bahwa ridha suami itu menjadi bagian dari ridha Allah, dan kebencian suami merupakan bagian dari kebencian Allah."

"Hai Fathimah, manakala seorang istri mengandung, maka para malaikat memohon ampun untuknya, dan setiap hari dirinya dicatat memperoleh seribu kebajikan dan seribu keburukannya dihapus. Apabila telah mencapai rasa sakit (menjelang melahirkan) maka Allah mencatatkan untuknya memperoleh pahala
seperti pahala orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Apabila telah melahirkan, dirinya terbebas
dari segala dosa seperti keadaannya setelah dilahirkan ibunya."

"Hai Fathimah, setiap istri yang melayani suaminya dengan niat yang benar, maka dirinya terbebas dari dosa-dosanya seperti pada hari dirinya dilahirkan ibunya. Ia tidak keluar dari dunia (yakni mati) kecuali tanpa membawa dosa. Ia menjumpai kuburnya sebagai pertamanan surga. Allah memberinya pahala seperti seribu orang yang berhaji dan berumrah, dan seribu malaikat memohonkan ampunan untuknya hingga kiamat."

"Setiap istri yang melayani suaminya sepanjang hari dan malam hari disertai hati yang baik, ikhlas dan niat yang benar, maka Allah mengampuni dosanya. Pada hari kiamat kelak dirinya diberi pakaian berwarna hijau, dan dicatatkan untuknya pada setiap rambut yang ada di tubuhnya dengan
seribu kebajikan, dan Allah memberi pahala kepadanya sebanyak seratus pahala orang yang
berhaji dan berumrah."

"Hai Fathimah, setiap istri yang tersenyum manis di muka suaminya, maka Allah memperhatikannya dengan penuh rahmat."

"Hai Fathimah, setiap istri yang menyediakan diri tidur bersama suaminya dengan sepenuh hati, maka ada seruan yang ditujukan kepadanya dari langit, `Hai Wanita, menghadaplah dengan membawa amalmu. Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang berlalu dan yang akan datang."

"Hai Fathimah, setiap istri yang meminyaki rambut suaminya demikian pula jenggotnya, memangkas kumis dan memotong kuku- kukunya, maka Allah kelak memberi minum kepadanya dari rahiqim makhtum (tuak jernih yang tersegel) dan dari sungai yang ada di surga.

Bahkan Allah kelak akan meringankan beban sakaratul maut. Kelak dirinya akan menjumpai kuburnya bagaikan taman surga. Allah mencatatnya terbebas dari neraka dan mudah melewati titian sirathal mustaqim.

" Sebaik baik wanita adalah yang paling ringan maskawinnya" (alhadist)


MENGAPA RASULLULAH MELARANG POLIGAMI ALI RA

Untuk menanggapi note Yêremïa Laskar HâMashiäkh: Muhammad tidak mau putrinya dipoligami...yang ngopasnya cuma separuh (entah sengaja atau tidak) dan cari pembenaran sendiri ( dan dari tadi siang permintaan fren dariku jg belum dikonfirm)

Kalangan antipoligami juga sering mengetengahkan hadits tentang larangan Rasulllah saw terhadap Ali berpoligami saat masih beristeri dengan puteri beliau, Fatimah ra. Mereka mengutip Hadits: Nabi saw marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad saw, akan dipoligami Ali bin
Abi Thalib ra. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru:

"Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah (kerabat Abu Jahl) meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka (anak Abu Jahl) dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku terlebih dahulu, Fatimah Bagian dari diriku, apa yang meragukan dirinya meragukan diriku, dan apa yang menyakiti hatinya menyakiti hatiku, aku sangat kwatir kalau-kalau hal itu mengganggu pikirannya (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 162, Hadits: 9026).

Penggunaan Hadits ini untuk melarang poligami ternyata tidak sesuai dengan latar-belakang pelarangan tersebut. Nabi saw melarang Ali ra menikah lagi karena hendak dinikahi Ali ra anak musuh Allah Swt, Abu Jahl. Menurut Rasulullah saw tidak layak menyandi putri utusan Allah dengan putri musuh Allah. Sehingga, letak pelarangan tersebut bukan pada poligaminya, namun lebih kepada person yang hendak dinikahi. Beliau sendiri juga menegaskan, tidak mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Hal ini dapat disimpulkan dari Hadits yang sama dari riwayat lain.

Dalam riwayat al-Bukhari, Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Fatimah adalah dari diriku dan aku khawatir agama akan terganggu. "Kemudian beliau menyebutkan perkawinan Bani Abdi Syams dan beliau menyanjung pergaulannya, "Dia bicara denganku dan mempercayaiku, dia berjanji padaku dan dia penuhi. Dan sungguh aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak pula menghalalkan yang haram, akan tetapi, demi Allah, jangan sekali-kali bersatu putri Utusan Allah dengan putri musuh Allah." (H.R. Bukhari)

No comments: