1. tidak ikhtilat (memakai hijab)
“Sebaik-baik shaf lelaki adalah shaf terdepan dan sejelek-jeleknya adalah shaf terakhir. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah shaf terakhir, dan sejelek-jeleknya adalah shaf terdepan.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Hal itu dikarenakan dekatnya shaf terdepan wanita dari shaf terakhir lelaki sehingga merupakan shaf terjelek, dan jauhnya shaf terakhir wanita dari shaf terdepan lelaki sehingga merupakan shaf terbaik. Apabila pada ibadah shalat yang disyariatkan secara berjamaah, maka bagaimana kiranya jika di luar ibadah? Kita mengetahui bersama, dalam keadaan dan suasana ibadah tentunya seseorang lebih jauh dari perkara-perkara yang berhubungan dengan syahwat. Maka bagaimana sekiranya ikhtilath itu terjadi di luar ibadah? Sedangkan setan bergerak dalam tubuh Bani Adam begitu cepatnya mengikuti peredaran darah . Bukankah sangat ditakutkan terjadinya fitnah dan kerusakan besar karenanya?”
Allah SWT berfirman:
“Dan jika kalian (para shahabat) meminta suatu hajat (kebutuhan) kepada mereka (istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka mintalah dari balik hijab. Hal itu lebih bersih (suci) bagi kalbu kalian dan kalbu mereka.” (Al Ahzab: 53)
2. tidak berkholwat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Jangan sekali-kali salah seorang kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali bersama mahram.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu ‘Abbas ra)
Hal itu karena tidaklah terjadi khalwat kecuali setan bersama keduanya sebagai pihak ketiga, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan sekali-kali dia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa disertai mahramnya, karena setan akan menyertai keduanya.” (HR. Ahmad)
3. Diperbolehkan bertanya dan menjawab tentang harapan keluarga kedepan, mengoptimalkan dalam menyamakan cara pandang hidup kedepan. Dalam ta'aruf ini bisa terjadi kesepakatan atau bahakan ketidak sepakatan untuk melanjutkan proses pernikahan. Jangan sampai terjadi permasalah pasca pernikahan.
4. Tidak menyebarluaskan kepada orang lain
~Mengkhitbah yang syar'i:~
1. Mengkhitbah langsung ke orang tua si akhwat dibolehkan secara syar'i. menurut dalil: Urwah bin Az-Zubair RA, dia berkata :“Bahwa Nabi SAW telah mengkhitbah ‘Aisyah RA melalui Abu Bakar Ash-Shiddiq RA…” (HR Bukhori)
Dari Urwah bahwa nabi saw melamar Aisyah kepada Abu Bakar, lalu Abu Bakar berkata, ”ssungguhnya aku adalah saudaramu.” Nabi menjawab, ”Engkau adalah saudaraku dalam agama Allah dan kitabNya dan dia halal bagiku.” (HR Bukhori)
2. Meminang dengan berbicara langsung kepada si wanita. Dalam kitab-kitab fiqh hal ini diistilahkan dengan: ”meminang wanita dewasa langsung kepada yang bersangkutan sendiri.’ Contoh peristiwa ini adalah saat Anas bin Malik menceritakan proses khitbah ibunya, ”Abu Thalhah melamar Ummu Sulaim, lalu Ummu Sulaim berkata, ”Demi Allah, orang yang sepertimu ini tidak patut ditolak, wahai Abu Thalhah. Tetapi engkau orangkafir sedang aku wanita muslimah, dan aku tidak halal kawin denganmu.Jika engkau mau masuk Islam, maka yang demikian itu sudah cukup sebagai maskawinku, dan aku tidak meminta yang lain lagi kepadamu…” (HR Nasai)
3. Orang tua si wanita atau kerabatnya menawarkan kepada orang-orang yang mereka ridhai Akhlak dan agamanya. Contoh peristiwa ini adalah saat Umar bin Khattob menawarkan Hafshah, putrinya yang menjadi janda karena suaminya Khunais bin Khudzafah as Sahmi wafat di Madinah. Ia menawarkannya kepada Utsman bin Affan, lalu karena Utsman menolah, ia tawarkan ke Abu Bakar. Mereka berdua menolak karena telah melihat isyarat bahwa Rasulullah menginginkannya.
4. Mengkhitbah wanita melalui tokoh masyarakat atau teman-teman yang sholeh dan guru ngaji. Sahabat meminta Rasulullah SAW sebagai Murobbi menjadi perantara mereka untuk mengkhitbah seorang wanita. Rasulullah SAW juga pernah mengutus seorang shahabat datang kepada keluarga wanita untuk melamar putrinya, dan lamaran ini atas saran beliau SAW.
“Ketika Abu Salamah meninggal, Rasulullah SAW mengutus Hathib bin Abi Baltha’ah kepadaku untuk mengkhitbahku bagi Rasulullah SAW…” (HR Muslim).
Kalo lewat Murabbi/ah (pembina/guru mengaji), sebaiknya dikomunikasikan dengan santun pada beliau. Bagaimanapun beliau tentu memiliki pandangan tertentu yang didasarkan pada pengalaman dan hikmah. Dengarkanlah pendapatnya, lalu berterus teranglah bahwa antum sudah memiliki pilihan. Melibatkan beliau sejak awal, tentu lebih baik daripada antum melakukan segala sesuatunya sendiri dan mengundang beliau setelah undangan jadi. Kalo dah gini yang ada hanya prasangka yang berujung pada fitnah, terutama keikhlasan niat dan kelurusan dakwah.
Dalam proses khitbah ini, kedua belah pihak dapat meneliti dengan pasti kesiapan untuk saling menerima. Untuk memastikan pilihan dalam proses pernikahan dilakukan dengan dua hal yaitu dengan istikhoroh dan musyawarah dengan orang yang memiliki kapabilitas untuk memberikan masukan-masukan. Dalam proses memastikan (khitbah), tidak boleh ada paksaan/keterpaksaan bagi kedua pihak.
Dan dianjurkan untuk melihat perempuan yang dilamar dan perempuan itu juga melihatnya (nadhor), karena Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada lelaki yang melamar seorang perempuan agar melihatnya. Dari mughirah bin syu’bah, ia pernah meminang seorang perempuan, lalu Rasulullah Saw bersabda kepadanya:
"Sudahkah engkau melihatnya? Jawabnya ’belum’. Beliau bersabda:’lihatlah dia terlebih dahulu agar nantinya kamu berdua dapat hidup bersama lebih langgeng (dalam keserasian berumah tangga)". (HR. An-nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Hadits hasan)’
Dari Abu Umaid As-Sa’idi, bahwa Rasulullah Saw bersabda:
"Bila seseorang diantara kamu meminang seorang perempuan, tidak berdosa ia melihatnya, asalkan melihatnya hanya untuk kepentingan meminang, sekalipun perempuan itu sendiri tidak tahu" (HR.Ahmad).
Yang dilarang adalah mengkhitbah wanita yang: 1) bukan wanita yang haram untuk dinikahi; 2) bukan wanita yang sedang menjalani masa 'iddah; dan 3) bukan wanita yang sudah dikhitbah oleh laki-laki lain.
Wallohu Ta'aalaa a'lamu bish-showaab
No comments:
Post a Comment